Saturday, August 29, 2020

BG LISTED DALAM WEBSITE INSTITUT PENILAIAN NEGARA (INSPEN)


Tak pernah tahu Novel BAYANGAN GURAUAN listed dalam website INSTITUT PENILAIAN NEGARA (INSPEN)...
Untuk Buku Jun 2018...
Dua tahun dah, tapi baru malam tadi perasan...
Tu pun sebab tengah buat research cari material untuk sequelnya, SEJIWA...
Nampaklah BG dalam kelompok buku di Arkib Pengumuman INSPEN https://www.inspen.gov.my/index.php/my/arkib-pengumuman ...
Ada lagi beberapa novel rakan penulis lain... Bersama buku-buku Non-fiksyen sedunia yang memonopoli...

Buku fiksyen tak semestinya zero, nothing... 
Selak, baca, gali apa yang terselit dalam intipati... 
Then you will know ia berbaloi atau rugi...
Bak pepatah “DON’T JUDGE A BOOK BY IT’S COVER”... Is it😊

Terima kasih pembaca BG...
Yang baca, hayati, selami, tahulah apa isi dan nilai tersemat melalui naskhah kecil ini...




  











Wednesday, August 26, 2020

CHAPTER 31 : RELAKU PUJUK






Chapter 30 & 31 for today.....


SENYAP sunyi keadaan meja makan. Satu suara lansung tak kedengaran. Hanya bunyi sudu garfu yang berlaga dengan pinggan. Masing-masing nampak sibuk jamah hidangan.

“Aryan.”

Baru disebut, dan-dan itu suara Pak Aryawan menerjah.

Yes, baba.”

“Tentang hal pernikahan kamu sama Sefhia, gimana?”

“Gimana apa maksud baba?”

“Ya maksud baba itu, kapan mau lansungnya?”

“Benar, Ryan. Kapan mau lansung acaranya? Sejak kita bicara tentang hal itu, kamu kok malah diam terus. Soalnya, nggak manis dong kamu sama Sefhia tinggal di dalam satu rumah tanpa punya ikatan apa-apa.” Ibu Dian menambah.

Aryan pandang kedua orang tuanya. Ingatkan dah lupa.

Bukan dia sengaja diam. Cuma tunggu masa yang sesuai. Alang-alang baba dan mamanya dah tanya sekarang, mungkin saatnya dah sampai.

“Seperti yang Aryan bila tempoh hari. Sesegera yang mungkin.”

“Jadi kamu udah pilih tanggalnya?”

Aryan angguk perlahan. “Iya, ba.”

“Kapan?”

Kali ini Aryan tarik nafas. Cari kekuatan untuk melafaz. Sefhia di sebelah dilirik sekilas.

“Bulan depan.”

Tersedak nasi yang disuap Pak Aryawan. Tersembur air yang diteguk Ibu Dian.

“Apa?! Yang benar kamu, Aryan??”

“Ngapain, ma? Apa Aryan salah bilang? Tadi baba sama mama juga yang lagi nanya kapan Aryan mau menikah.”

“Ya iya, dong! Tapi kok secepat itu?”

“Apa nggak bisa?”

“Kamu kira hal menikah itu sesuatu yang gampang? Banyak urusan yang perlu dipersiapin dong, Aryan! Aduhhh… ini anak!”

“Kalau gitu kita bikin majlis yang simple-simple aja, deh.”

“Hmmh! Mas lihat itu anak mas. Dia pikir mau menikah ini kayak main guli waktu dia kecil-kecil?”
Serentak itu tawa Pak Aryawan terburai.

“Mas! Mama lagi ngomong ini! Mas kok bisa ketawa, sih!” 

“Mama ini lucu, ya. Hal menikah kok disamakan dengan main guli.”

“Ya, iyalah! Dia mikir hal menikah segampang itu? Lontar-lontar, lalu kena, terus menang. Gitu?” 

“Ya kalau udah itu yang diputusin sama Aryan, kita bisa ngomong apa lagi? Itu lebih baik deh dari dia nggak kahwin-kahwin. Mama suka yang begitu?”

“Ya nggaklah! Tapi apa perlu bikin kejutan sebegini?”

“Ya mas itu kan sering bilang. Selagi yang bikin itu namanya Aryan, apapun dia bisa lakuin. Kalau dia bilang mau menikah besok, ya mas juga percaya sih!” 

“Udah, udah! Mas sok bilang yang macem-macem, ya! Buatnya benaran dia mau menikah besok, awas! Kerja gila itu! Kamu juga, Aryan. Jangan coba-coba mau bikin mama sakit jantung!”

“Jadi, baba sama mama setuju?”

“Baba on aja.”

“Terus mama?”

“Ya kalau gitu udah kamu putusin, terserah. Pokoknya, bukan besok!”

Aryan senyum senang. Lega hasratnya diperkenan. Seperti apa yang dia rancang. Tanpa sedar satu hati saat ini sedang mengamuk sakan! 


**********

“HUH!”

Lelaki itu lepaskan lelah. Dah empat jam dia ‘bertapa’ atas meja. Menghadap laptop, siapkan kerja. Sampai anak mata pun dah macam nak berlaga.

Sudahnya, dia bersandar. Leher yang lenguh diurut-urut perlahan. Kalau nak terus hadap kerja yang takkan pernah habis itu, mahu saraf-saraf otaknya boleh tercabut. Silap-silap, meletup.

Pantas Aryan bangkit. Tekak yang haus sejak tadi dah menjerit-jerit minta diisi. Segera langkah dihala keluar bilik, menuruni tangga, dan berakhir di lantai dapur.

Klik!

Suis lampu dibuka. Ruang dapur terang serta-merta.

“Uih! Astaghfirullahalazim!”

Aryan urut dada, sekaligus mengucap panjang. Kelibat seseorang sedang duduk di mini bar benar-benar mengejutkan. 

“Kamu apa-apaan, sih?! Duduk sendirian di dalam gelap begini! Mau bikin aku mati terkejut?!”

Sefhia tak hirau. Renungannya terus melekat ke dinding depan.

“Hei. Aku lagi nanya ka…,”

“Batalkan pernikahan tu.”

What?”

Stop all those nonsense things.”

“Kamu pikir ini apa? Kayak main nikah-nikah? Bisa-bisa aja mau batalin. No! Aku nggak akan berenti.”

“Kenapa? Kau nak balas dendam?”

“Balas dendam? Untuk apa?”

“Apa aku buat dulu.”

Tawa Aryan spontan pecah.

“Aku? Balas dendam? Sama kamu?” Aryan tertawa lagi. “Mungkin.”

“Dari balas dendam, baik kau bunuh aku.”

Mendengar perkataan bunuh, tawa Aryan lansung termati. Rasa marah kini berganti.

“Kamu pikir aku apa? Manusia kejam seperti kamu? Membunuh orang sesuka hati. Nggak tau beda pahala sama dosa. Hmm??” tingkah lelaki itu geram. “Kalau aku mau balas dendam sama kamu, dari dulu lagi aku udah berbuat begitu. Waktu aku nabrakin kamu. Malah saat ini juga aku bisa hancurin hidup kamu, Sefhia!”

“Jadi untuk apa kau ikat aku?”

“Kerna aku nggak mau biarin kamu terus hanyut sama dunia kamu!”

Renungan Sefhia deras menikam wajah Aryan.

“Aku tau kamu punya alasan melakuin semua hal itu, Sefhia. Dan aku percaya kamu maksa diri kamu untuk terus jadi begitu. Malah aku yakin, dalam diri kamu itu masih punya kebaikan yang bisa didapatin, yang bisa aku bimbing, yang bisa semua orang rasain. Kerna itu aku harus menikahi kamu. Aku mau hidup kamu jadi lebih baik!”

Sepasang kornea biru Sefhia makin cerun renung Aryan. Dadanya berombak. Rahangnya diketap. Buku limanya digenggam. Sungguh, dia benar-benar terpukul dengan kata-kata Aryan.

“Kau kahwin dengan aku, kau akan menyesal.”

Serentak Sefhia bangkit dari kerusi. Langkah mula diatur, berlalu melewati Aryan yang masih tegak berdiri sejak tadi.

Zap!

Lengan gadis itu sepantas kilat ditarik.

“Oh, ya? Kamu benar-benar yakin?”

Aryan balas renungan tajam Sefhia.

Alright. We will see. Siapa yang bakalin nyesal, siapa yang bakalin terpujuk nanti!” ucap Aryan dalam berbisik. Seulas senyum lalu mengurai di bibir.

Sefhia ketap gigi. Marah. Geram. Sebal. Sakit hati. Semuanya bercampur-baur saat ini. Dengan sekuat tenaga, lengannya direntap kembali. Pantas dia angkat kaki dalam kemarahan yang berapi-rapi.

Aryan tersenyum sinis buat kesekian kali.

“Aku bukan lelaki yang tewas, Sefhia. Biar jasadku yang menanggung permainan darimu, aku rela. Dari aku harus melepaskanmu!” 


**********

MUNDAR-mandir dirinya dalam bilik. Sekejap ke hulu. Kejap lagi ke hilir. Lepas itu pusing ke belakang. Habis ruang di belakang, kaki bergerak pula ke depan. Semuanya gara-gara lelaki bernama Aryan.

Entah! Kalau boleh dia tak nak fikirkan. Tapi bait-bait ayat lelaki itu sekejap tadi benar-benar meresahkan.

Apa lagi yang patut dia lakukan? Susah betul nak lepas diri dari lelaki berkenaan. Makin banyak onar dia cuba buat, makin kuat simpulan tali-tali yang melemaskan.

‘Kenapa kau buat aku macam ni?!’ bentak Sefhia dalam hati.

Kenapa mesti dia? Lupakah Aryan dia ini siapa? Apa betul lelaki itu nak balas dendam padanya? Atau benar niat lelaki itu ingin merubah dirinya?

Penjenayah macam dia? Nak berubah jadi baik?

Nonsense!

Kepala yang makin berat pantas disentuh. Rambutnya digenggam erat-erat, cuba hilangkan denyut yang makin mengetuk-ngetuk.

Ikut hati, nak saja dia hentakkan kepala. Biar hilang segala sakit yang ada. Sakit kepala. Sakit hati. Sakit jiwa.

Argghhh!!!

Satu tumbukan dan-dan dilepas ke dinding. Habis itu dahinya pula dihantuk-hantuk.

Tadi mulut cuma cakap. Tapi sekarang, dia buat betul-betul! Biarlah berdarah sekalipun. Kepalanya dah tak mampu nak tanggung.

Dalam kesakitan yang menggunung, telinga Sefhia tiba-tiba tangkap suara syahdu beralun.

Laqad jaaa’akum Rasoolum min anfusikum ‘azeezun ‘alaihi maa ‘anittum hareesun ‘alaikum bilmu’mineena ra’oofur Raheem (Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keamanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin : At-Taubah ayat 128).

Gadis itu menapak perlahan. Ikuti arah suara berkenaan. Makin lama, ia menarik-nariknya untuk datang lebih dekat.

Fa in tawallaw faqul lhasbiyallaahu laaa ilaaha illaa Huwa ‘alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘Arshil ‘Azeem (Jika mereka Berpaling (dari keimanan) maka katakanlah ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung : At-Taubah ayat 129).”

Tombol dipulas. Daun pintu ditarik. Suara itu kedengaran makin jelas.

Dalam samar-samar, Sefhia nampak cahaya keluar dari bilik Mak Minah.

Gadis itu terus berjalan. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, matanya intai ke dalam. Satu sosok putih sedang membelakangi jelas kelihatan.

Mak Minah. Dia tahu sosok Mak Minah dalam persalinan telekung itu yang mengalun kitab suci Al-Quran.

Kolam mata Sefhia serta-merta bergenang. Tubuhnya menggigil. Nafasnya sesak. Lututnya menggeletar.

Setapak dua, gadis itu mula berundur langkah. Lama dia terkaku di dinding sebelum terduduk di lantai luar.

Ini kali kedua. Kali kedua perasaan halus itu datang menerpa. Perasaaan luar biasa yang pernah dialaminya. Sekarang ia datang menjentik semula. Dan kali ini lebih sakit. Lebih hangat. Lebih terseksa.

Dalam dada yang berkocak hebat, Sefhia cuba bernafas semula.

“Aku yakin, dalam diri kamu itu masih punya kebaikan yang bisa didapatin, yang bisa aku bimbing, yang bisa semua orang rasain. Kerna itu aku harus menikahi kamu. Aku mau hidup kamu jadi lebih baik.”

Kata-kata Aryan kembali menjelma.

Dah tiba masakah untuk dirinya bertaubat? Masih ada ruangkah insan hina sepertinya kembali ke pangkal jalan?

Lebih tepat... serah diri semula kepada ALLAH swt.

Layakkah dia?

Setitik air jernih gugur dari bening biru Sefhia.



CHAPTER 30 : RELAKU PUJUK






Chapter 30 & 31 for today.....



JARINYA ligat menggelecek bola ke lantai gelanggang. Crossover, behind the back, between the legs, reverse. Sebahagian teknik dribble atau kelecek berselang-seli dipamerkan.

Puas menggelecek, tumpuan kini berpindah pada aksi jaringan. Bola terus dibawa ke luar kawasan lengkungan. Sesaat dua membuat control dribble, dengan tangkas lelaki itu bergerak melakukan lay-up ke arah keranjang.

Gol terhasil!

Bola digelecek ke dalam gelanggang semula. Kali ini dia nak cuba teknik jaringan berbeza.

Dari tengah gelanggang, lelaki itu berlari sambil lakukan speed dribble ke dalam kawasan lengkungan. Tubuhnya melompat. Bola dilontar kuat ke dalam keranjang sebelum kedua tangan bergayut pada besi jaring.

Dan akhirnya… dia berjaya melakukan slam dunk!

Seraya, bergema satu tepukan.

“Whooaaa! Amazing, amazing! Kau tetap hebat macam dulu, bro. Fantastic!”

Aryan kerling Wafri. Senyuman kecil lantas diberi. “Nggaklah.”

I meant it. Gaya slam dunk kau masih berbisa!”

Aryan tersenyum lagi dengan pujian Wafri. Bola yang bergolek keluar gelanggang diambil lalu digelecek kembali.

“Jam berapa mula latihannya?”

Half and hour maybe. Ada yang belum sampai lagi.”

Aryan sambung beraksi. Sebagai warm up sebelum bermain bersama team Wafri.

Dah lama juga dia tak turun padang. Sibuk memanjang. Kebetulan petang Sabtu itu ada masa terluang, jadi dia datang. 

How’s everything so far?”

“Maksud lo?”

“Keadaan rumah kau.”

Good.”

“Hubungan Sefhia dengan orang tua kau?”

“Orang tuaku lagi happy. Cuman Sefhia… lo ngerti sendiri.”

Wafri angguk perlahan. Faham dengan kata-kata Aryan. Malah segala yang berlaku sejak orang tua Aryan pulang rakannya itu dah ceritakan.

“Kau dengan Sefhia pulak, macam mana?”

“Okey.”

“Okey aje?”

Pergerakan Aryan serta-merta terhenti. Sejenak, lelaki itu berdiam diri.

“Kau gaduh lagi dengan dia?”

“Dia nggak setuju sama rencana pernikahan itu.”

“Dah agak dah! So, macam mana sekarang? Kau tetap nak teruskan?”

Sebuah keluhan berat dari Aryan kedengaran.

“Aku nggak sanggup kecewakan harapan orang tuaku, Ri. Lebih-lebih lagi mamaku.”

“Aku tahu. Tapi macam mana dengan kau? Sefhia? Aku dapat rasa perkahwinan kau orang nanti takkan sama macam orang lain, Ryan. Dengan sikap Sefhia yang dingin macam tu. Silap-silap nanti, seorang ke utara seorang ke selatan jadinya. Kau nak macam tu?”

“Mau bikin gimana lagi, sih. Aku nggak punya pilihan.”

“Ada. Tapi kau yang cari nahas! Hisy… menyesal pulak aku pergi sebut pasal plan kahwin tu kat kaulah! Kalau aku tahu nak jadi macam ni, sumpah aku tak cakap!”

Tawa Aryan spontan terburai. Geli hati dengan Wafri yang gelabah tak tentu pasal.  

“Ya udahlah, Ri. Aku yang mau menikah, kok lo yang lagi panas. Ngapain?” tingkah Aryan dengan tawa masih tersisa.

“Amboi senang hatinya kau ketawa. Aku ni punyalah susah hati risaukan kau.” 

Easy, Ri. Bukan salah lo. Atau salah sesiapa. Semuanya udah ditentukan sama Dia, deh. Mau marah kek, mau nyesal kek, mau apa kek, tetap aku nggak bisa berpatah semula.”

“Jadi kau betul-betul nekad?”

“Iya.”

“Walaupun kau tahu kesan dan akibat yang akan kau terima?”

“Aku yakin ALLAH sering ada bersama hamba-hamba-Nya.”

Giliran Wafri lepas keluhan.

“Kalau kau dah cakap macam tu, aku boleh buat apa lagi. As I said before, you always have my support. Cuma satu aku nak pesan. Siap-siaplah dengan sebarang kemungkinan yang mendatang. Sebab perempuan yang kau nak kahwin tu bukan sembarangan orang, Ryan.”

Aryan toleh ke Wafri. Dari jauh dia balas pandangan rakannya itu bersama amaran yang diberi.  


**********

ANGIN petang sepoi-sepoi bahasa melagukan rentaknya. Mengiring dedaunan pohon menari riang ikut irama di udara. Langit nan biru pun nampaknya tak mahu tertinggal sama. Cuaca cerah yang dipamer bak melengkapi panorama indah alam semesta. Cukup sempurna.

Dari jauh, sosok Ibu Dian dilihat berlabuh duduk tepi kolam. Tak berganjak sejak tadi temani sang suami berenang. Aktiviti riadah kegemaran lelaki itu waktu terluang.

Nama saja teman. Tapi hakikat sebenar, mindanya dah jauh terawang-awangan.

Lewat setengah jam berendam, Pak Aryawan naik ke atas. Bathsuit disarung ke badan. Halang tubuh dari kesejukan.

“Mama menung apaan?”

Ibu Dian kaget. “Hmm?”

“Lagi menung apa?”

“Err… nggak apa-apa.”

“Yang benar. Mas manggilin dari tadi juga enggak didengar.”

“Hmm? Mas manggilin mama? Serius?”

“Ya nggaklah. Lagi bercanda doang. Nggak lihat tadi mas ketawanya sampei berguling-guling. Terus itu jatuh ke kolam.”

“Mas perli mama?”

Pak Aryawan terdiam. Dari riak isterinya, dia yakin ada sesuatu yang dipendam.

“Mama ini ngapain, sih? Kok menung terus. Lagi punya masalah?”

Ibu Dian gelisah. Serba salah dirinya untuk meluah.

“Ayuh, dong. Diceritain! Ada apa sih sama mama sebenarnya?”

“Mama lagi mikirin, mas.”

“Mikiran apa?”

“Sefhia.”

“Loh! Kenapa sih sama Sefhia? Apa gadis itu ada bikin salah?”

“Nggak, ah. Bukan begitu.”

“Terus, apa?”

“Mama nggak tau, mas. Tiap kali mama lihatin dia, wajahnya mengingatkan mama sama sesorang.”

“Siapa?”

Ibu Dian tak jawab. Terasa berat bibirnya nak ungkap. Kalau cakap, takut suaminya tersinggung. Tak cakap, sampai bila-bilalah dia akan termenung.

“Mas.”

“Iya.”

“Kira-kira Ed sama Safira lagi di mana saat ini, ya?”

Akhirnya, Ibu Dian sebut juga. Setelah berpuluh-puluh tahun ia lenyap dari hidup mereka.

“Mama ngapain dong tiba-tiba nyebutin nama mereka?”

“Mama kangen sama mereka, mas. Malah mama sering bermimpi tentang mereka. Lagi-lagi anak kecilnya.”

Pak Aryawan mengeluh. Elok-elok tadi sejuk, badanya kini sudah berpeluh. 

“Jadi mama kira mas ini udah lupa sama mereka? Sama Ed, sahabat baik mas sendiri?”

“Maksud mama bukan begitu, mas. Mama ini lagi penasaran, apa sih sebenarnya yang terjadi sama mereka? Tiba-tiba menghilang dari kita.”

“Mas juga begitu, ma. Tapi kayaknya mas harus berbuat apa lagi? Udah merata-rata kita cari. Udah berapa ramai PI yang kita upahin. Tapi satu patah berita apapun lansung kita nggak dapatin. Gimana lagi caranya harus mas usahakan?”

Ibu Dian bungkam. Dia tahu. Malah mata dia yang saksikan suaminya berusaha sehabis baik cari pasangan suami isteri itu serta anak lelaki mereka. Hilangnya secara tiba-tiba. Tanpa dapat dikesan.

‘Ed. Safira. Di mana kalian? Ke mana kalian sama Edwine sebenarnya?’

Menyebut nama anak itu, serta-merta Ibu Dian dihambat pilu.

Mesti Edwine dah besar sekarang. Lebih kurang Della. Makin kacak macam papanya. Makin soleh seperti uminya.

‘Ya ALLAH... rindunya aku sama mereka!’ Tubir Ibu Dian bergenang serta-merta.

“Usah menangis dong, ma.”

“Gimana kiranya sesuatu yang buruk terjadi sama mereka, mas? Apa mereka masih hidup? Atau udah nggak ada?”

“Mas juga nggak tau. Buntu deh mikirin hal itu!”

“Mas...” Ibu Dian betulkan posisi duduknya. “Kita nyariin mereka, yuk.”

Seraya mata Pak Aryawan tentang pandangan Ibu Dian. “Mama usah bercanda, ah.”

“Nggak. Mama serius.”

Pak Aryawan terus-terusan renung isterinya. Masih tak percaya.

Please, mas. Kita nyariin mereka!”