Chapter 30 & 31 for today.....
SENYAP sunyi keadaan meja makan. Satu suara lansung tak
kedengaran. Hanya bunyi sudu garfu yang berlaga dengan pinggan. Masing-masing
nampak sibuk jamah hidangan.
“Aryan.”
Baru disebut, dan-dan itu suara Pak Aryawan menerjah.
“Yes, baba.”
“Tentang hal pernikahan kamu sama Sefhia, gimana?”
“Gimana apa maksud baba?”
“Ya maksud baba itu, kapan mau lansungnya?”
“Benar, Ryan. Kapan mau lansung acaranya? Sejak kita
bicara tentang hal itu, kamu kok malah diam terus. Soalnya, nggak manis dong
kamu sama Sefhia tinggal di dalam satu rumah tanpa punya ikatan apa-apa.” Ibu
Dian menambah.
Aryan pandang kedua orang tuanya. Ingatkan dah lupa.
Bukan dia sengaja diam. Cuma tunggu masa yang sesuai.
Alang-alang baba dan mamanya dah tanya sekarang, mungkin saatnya dah sampai.
“Seperti yang Aryan bila tempoh hari. Sesegera yang
mungkin.”
“Jadi kamu udah pilih tanggalnya?”
Aryan angguk perlahan. “Iya, ba.”
“Kapan?”
Kali ini Aryan tarik nafas. Cari kekuatan untuk melafaz.
Sefhia di sebelah dilirik sekilas.
“Bulan depan.”
Tersedak nasi yang disuap Pak Aryawan. Tersembur air yang
diteguk Ibu Dian.
“Apa?! Yang benar kamu, Aryan??”
“Ngapain, ma? Apa Aryan salah bilang? Tadi baba sama mama
juga yang lagi nanya kapan Aryan mau menikah.”
“Ya iya, dong! Tapi kok secepat itu?”
“Apa nggak bisa?”
“Kamu kira hal menikah itu sesuatu yang gampang? Banyak
urusan yang perlu dipersiapin dong, Aryan! Aduhhh… ini anak!”
“Kalau gitu kita bikin majlis yang simple-simple aja, deh.”
“Hmmh! Mas lihat itu anak mas. Dia pikir mau menikah ini
kayak main guli waktu dia kecil-kecil?”
Serentak itu tawa Pak Aryawan terburai.
“Mas! Mama lagi ngomong ini! Mas kok bisa ketawa,
sih!”
“Mama ini lucu, ya. Hal menikah kok disamakan dengan main
guli.”
“Ya, iyalah! Dia mikir hal menikah segampang itu?
Lontar-lontar, lalu kena, terus menang. Gitu?”
“Ya kalau udah itu yang diputusin sama Aryan, kita bisa
ngomong apa lagi? Itu lebih baik deh dari dia nggak kahwin-kahwin. Mama suka
yang begitu?”
“Ya nggaklah! Tapi apa perlu bikin kejutan sebegini?”
“Ya mas itu kan sering bilang. Selagi yang bikin itu
namanya Aryan, apapun dia bisa lakuin. Kalau dia bilang mau menikah besok, ya
mas juga percaya sih!”
“Udah, udah! Mas sok bilang yang macem-macem, ya! Buatnya
benaran dia mau menikah besok, awas! Kerja gila itu! Kamu juga, Aryan. Jangan
coba-coba mau bikin mama sakit jantung!”
“Jadi, baba sama mama setuju?”
“Baba on aja.”
“Terus mama?”
“Ya kalau gitu udah kamu putusin, terserah. Pokoknya,
bukan besok!”
Aryan senyum senang. Lega hasratnya diperkenan. Seperti
apa yang dia rancang. Tanpa sedar satu hati saat ini sedang mengamuk
sakan!
**********
“HUH!”
Lelaki itu lepaskan lelah. Dah empat jam dia ‘bertapa’
atas meja. Menghadap laptop, siapkan kerja. Sampai anak mata pun dah macam nak
berlaga.
Sudahnya, dia
bersandar. Leher yang lenguh diurut-urut perlahan. Kalau nak terus hadap kerja
yang takkan pernah habis itu, mahu saraf-saraf otaknya boleh tercabut.
Silap-silap, meletup.
Pantas Aryan
bangkit. Tekak yang haus sejak tadi dah menjerit-jerit minta diisi. Segera
langkah dihala keluar bilik, menuruni tangga, dan berakhir di lantai dapur.
Klik!
Suis lampu dibuka.
Ruang dapur terang serta-merta.
“Uih!
Astaghfirullahalazim!”
Aryan urut dada,
sekaligus mengucap panjang. Kelibat seseorang sedang duduk di mini bar
benar-benar mengejutkan.
“Kamu apa-apaan,
sih?! Duduk sendirian di dalam gelap begini! Mau bikin aku mati terkejut?!”
Sefhia tak hirau. Renungannya terus melekat ke dinding
depan.
“Hei. Aku lagi nanya ka…,”
“Batalkan pernikahan tu.”
“What?”
“Stop all those
nonsense things.”
“Kamu pikir ini apa? Kayak main nikah-nikah? Bisa-bisa
aja mau batalin. No! Aku nggak akan
berenti.”
“Kenapa? Kau nak balas dendam?”
“Balas dendam? Untuk apa?”
“Apa aku buat dulu.”
Tawa Aryan spontan pecah.
“Aku? Balas dendam? Sama kamu?” Aryan tertawa lagi.
“Mungkin.”
“Dari balas dendam, baik kau bunuh aku.”
Mendengar perkataan bunuh, tawa Aryan lansung termati.
Rasa marah kini berganti.
“Kamu pikir aku apa? Manusia kejam seperti kamu? Membunuh
orang sesuka hati. Nggak tau beda pahala sama dosa. Hmm??” tingkah lelaki itu
geram. “Kalau aku mau balas dendam sama kamu, dari dulu lagi aku udah berbuat
begitu. Waktu aku nabrakin kamu. Malah saat ini juga aku bisa hancurin hidup kamu,
Sefhia!”
“Jadi untuk apa kau ikat aku?”
“Kerna aku nggak mau biarin kamu terus hanyut sama dunia
kamu!”
Renungan Sefhia deras menikam wajah Aryan.
“Aku tau kamu punya alasan melakuin semua hal itu,
Sefhia. Dan aku percaya kamu maksa diri kamu untuk terus jadi begitu. Malah aku
yakin, dalam diri kamu itu masih punya kebaikan yang bisa didapatin, yang bisa
aku bimbing, yang bisa semua orang rasain. Kerna itu aku harus menikahi kamu.
Aku mau hidup kamu jadi lebih baik!”
Sepasang kornea biru Sefhia makin cerun renung Aryan.
Dadanya berombak. Rahangnya diketap. Buku limanya digenggam. Sungguh, dia
benar-benar terpukul dengan kata-kata Aryan.
“Kau kahwin dengan aku, kau akan menyesal.”
Serentak Sefhia bangkit dari kerusi. Langkah mula diatur,
berlalu melewati Aryan yang masih tegak berdiri sejak tadi.
Zap!
Lengan gadis itu sepantas kilat ditarik.
“Oh, ya? Kamu benar-benar yakin?”
Aryan balas renungan tajam Sefhia.
“Alright. We will see. Siapa yang bakalin nyesal,
siapa yang bakalin terpujuk nanti!” ucap Aryan dalam berbisik. Seulas senyum
lalu mengurai di bibir.
Sefhia ketap gigi. Marah. Geram. Sebal. Sakit hati.
Semuanya bercampur-baur saat ini. Dengan sekuat tenaga, lengannya direntap
kembali. Pantas dia angkat kaki dalam kemarahan yang berapi-rapi.
Aryan tersenyum sinis buat kesekian kali.
“Aku bukan lelaki yang tewas, Sefhia. Biar jasadku yang
menanggung permainan darimu, aku rela. Dari aku harus melepaskanmu!”
**********
MUNDAR-mandir dirinya dalam bilik. Sekejap ke hulu. Kejap
lagi ke hilir. Lepas itu pusing ke belakang. Habis ruang di belakang, kaki
bergerak pula ke depan. Semuanya gara-gara lelaki bernama Aryan.
Entah! Kalau boleh dia tak nak fikirkan. Tapi bait-bait
ayat lelaki itu sekejap tadi benar-benar meresahkan.
Apa lagi yang patut dia lakukan? Susah betul nak lepas
diri dari lelaki berkenaan. Makin banyak onar dia cuba buat, makin kuat
simpulan tali-tali yang melemaskan.
‘Kenapa kau buat aku macam ni?!’ bentak Sefhia dalam
hati.
Kenapa mesti dia? Lupakah Aryan dia ini siapa? Apa betul
lelaki itu nak balas dendam padanya? Atau benar niat lelaki itu ingin merubah
dirinya?
Penjenayah macam dia? Nak berubah jadi baik?
Nonsense!
Kepala yang makin berat pantas disentuh. Rambutnya
digenggam erat-erat, cuba hilangkan denyut yang makin mengetuk-ngetuk.
Ikut hati, nak saja dia hentakkan kepala. Biar hilang
segala sakit yang ada. Sakit kepala. Sakit hati. Sakit jiwa.
Argghhh!!!
Satu tumbukan dan-dan dilepas ke dinding. Habis itu
dahinya pula dihantuk-hantuk.
Tadi mulut cuma cakap. Tapi sekarang, dia buat
betul-betul! Biarlah berdarah sekalipun. Kepalanya dah tak mampu nak tanggung.
Dalam kesakitan yang menggunung, telinga Sefhia tiba-tiba
tangkap suara syahdu beralun.
“Laqad jaaa’akum Rasoolum min anfusikum ‘azeezun
‘alaihi maa ‘anittum hareesun ‘alaikum bilmu’mineena ra’oofur Raheem (Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keamanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin : At-Taubah ayat 128).”
Gadis itu menapak perlahan. Ikuti arah suara berkenaan.
Makin lama, ia menarik-nariknya untuk datang lebih dekat.
“Fa in tawallaw faqul lhasbiyallaahu laaa ilaaha illaa
Huwa ‘alaihi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘Arshil ‘Azeem (Jika mereka Berpaling (dari keimanan) maka katakanlah ‘Cukuplah
Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung : At-Taubah ayat
129).”
Tombol dipulas. Daun pintu ditarik. Suara itu kedengaran
makin jelas.
Dalam samar-samar, Sefhia nampak cahaya keluar dari bilik
Mak Minah.
Gadis itu terus berjalan. Dari balik pintu yang sedikit
terbuka, matanya intai ke dalam. Satu sosok putih sedang membelakangi jelas
kelihatan.
Mak Minah. Dia tahu sosok Mak Minah dalam persalinan
telekung itu yang mengalun kitab suci Al-Quran.
Kolam mata Sefhia serta-merta bergenang. Tubuhnya
menggigil. Nafasnya sesak. Lututnya menggeletar.
Setapak dua, gadis itu mula berundur langkah. Lama dia
terkaku di dinding sebelum terduduk di lantai luar.
Ini kali kedua. Kali kedua perasaan halus itu datang
menerpa. Perasaaan luar biasa yang pernah dialaminya. Sekarang ia datang
menjentik semula. Dan kali ini lebih sakit. Lebih hangat. Lebih terseksa.
Dalam dada yang berkocak hebat, Sefhia cuba bernafas
semula.
“Aku yakin, dalam diri kamu itu masih punya kebaikan yang
bisa didapatin, yang bisa aku bimbing, yang bisa semua orang rasain. Kerna itu
aku harus menikahi kamu. Aku mau hidup kamu jadi lebih baik.”
Kata-kata Aryan kembali menjelma.
Dah tiba masakah untuk dirinya bertaubat? Masih ada
ruangkah insan hina sepertinya kembali ke pangkal jalan?
Lebih tepat... serah diri semula kepada ALLAH swt.
Layakkah dia?
Setitik air jernih gugur dari bening biru Sefhia.