NASI dalam pinggan
disuap perlahan-lahan ke mulut. Sesudu demi sesudu. Tapi entah kenapa ia macam
tak nak luak. Nak kata tak sedap, semua lauk kegemarannya yang dimasak.
Sesekali mata lelaki itu kerling orang tuanya di depan. Berselera sungguh mereka makan. Sampai dia duduk di sini lansung tak dipandang. Mereka yang lapar, atau seleranya yang hilang?
Sesekali mata lelaki itu kerling orang tuanya di depan. Berselera sungguh mereka makan. Sampai dia duduk di sini lansung tak dipandang. Mereka yang lapar, atau seleranya yang hilang?
Satu keluhan dilepaskan. Nasi yang
berbaki dihadap semula penuh harapan. Harapan agar dapat dihabiskan.
“Aryan.”
Lelaki itu mendongak.
“Kenapa?”
Aryan pandang Ibu Dian. Tak sangka
keluhnya tarik perhatian wanita berkenaan. Bukan takat mamanya. Dengan
baba-babanya sekali turut terkesan.
“Ngak apa-apa, kok.”
“Ngak apa-apa, ngak
apa-apa. Tapi keluhnya kok sampai gitu sekali?”
Aryan pandang kedua orang tuanya
lagi. Setelah itu dia tertunduk kembali.
“Waduh, ini anak! Ditanya kok lagi diam.” Ibu Dian bertingkah geram.
“Ngapain sih kamu, Aryan? Lagi punya
masalah?” Kali ini Pak Aryawan berbicara. Lembut suara menusuk pendengaran
anaknya.
Dan sekali lagi, keluhan Aryan kedengaran.
Dia sendiri tak tahu kenapa dengan dirinya. Sejak
akhir-akhir ini serba tak kena. Hendak diluah, tak tahu berkisarkan apa.
“Kamu
lagi punya masalah di kantor?” soal Pak Aryawan masih tak putus asa.
“Dikit.”
“Berkenaan
apa?”
“Semua.”
Bibir
Pak Aryawan ukir senyum. Tercuit dengan jawapan itu. Sudu yang diletakkan,
kembali disentuh.
“Aryan,
Aryan. Kamu itu kan masih baru. Masih dalam proses belajar. Justeru, hal
seperti itu bukan sesuatu yang luar biasa. Kamu harus kerja kuat, dong. Ambil
tahu segala hal-hal syarikat. Supaya nanti kamu bisa urusin Armaya dengan
sukses.
Baba ngerti kok perasaan kamu. Malah baba juga pernah
melalui saat seperti ini dulu. Sama kakek kamu yang lagi garang itu. Tapi
Alhamdulillah… baba berhasil melakukannya.”
Aryan terdiam. Kata-kata babanya
didengar dengan rasa berbalam.
“Usah khawatir, dong. Baba yakin
kamu juga bisa berhasil melakukannya. Soalnya, kamu harus sabar, kuat, rajin
berusaha dan nggak boleh putus asa untuk belajar mengenali Armaya.
Ya
baba akui… tanggungjawab kamu emang cukup berat. Lagi-lagi peran sebagai CEO
itu. Tapi kamu harus yakin sama diri kamu. Nggak ada yang bisa nolongin kamu
kecuali diri kamu sendiri. Ngerti?”
“Ya, ba. Aryan ngerti.”
“Bagus. Kalau ada hal-hal syarikat
yang mengingungkan kamu, bilang aja sama baba. Insya-ALLAH baba akan membimbing
kamu sebaiknya. Kalau baba nggak ada, Intan masih ada. Pegawai-pegawai yang
lain juga turut bisa bantuin kamu, sih. Yang penting kamu usah malu untuk
bertanya.”
“Insya-ALLAH.
Aryan akan melakuin yang terbaik untuk Armaya, ba. Makasih.”
Pak Aryawan sekadar mengangguk.
“Ya, udah. Kita ini lagi ada di meja
makan. Bukan di kantor. Ayuh disambung makannya. Udah mau dingin lauk-lauk ini
semua!” Ibu Dian mencelah. Sambal udang atas meja disenduk sesudu dua buat
suami dan anak terunanya. “Oh, ya! Mama hampir lupa. Mas udah kasitahu sama Aryan
apa belum?”
“Kasitahu apa?”
“Tentang kepulangan kita ke
Jakarta.”
Pak Aryawan tepuk dahi “Astagha!
Belum, ma. Mas lupa terus!”
“Ya ampun! Kok lupa? Hari Sabtu kita
udah mau berangkat, mas.”
“Mama sama baba mau pulang ke
Jakarta?” Aryan yang tak tahu pokok pangkal cerita, terus tanya.
“Iya, Ryan.”
“Kok
tiba-tiba?”
“Gini…
semalam Kak Della kamu nelefon mama. Dia bilang kakek kamu rebah lalu pengsan
di kantor.”
“What?!” Aryan tergamam. Duduk yang tadi
bersandar kini sudah tegak. “Gimana bisa terjadi?”
“Mama
juga nggak pasti, dong. Menurut Kak Dell, kakek saat ini lagi sibuk ulang-alik
urusin projek hotel Armaya di Bali itu. Lansung istirehatnya nggak cukup.”
“Terus,
kondisi kakek gimana sekarang? Apa serius?”
“Kakek
masih belum stabil. Sekarang lagi di kamar ICU. Kerna itu mama sama baba mau
pulang melihatnya.”
“Dokter
yang merawat bilang apa?”
“Dokter
juga bilang kakek lagi kecapekan. Sibuk banget urusin hal kerja sampei lupa
sama kesihatannya,” jelas Ibu Dian.
Aryan
bungkam. Khabar yang baru diterima benar-benar mengejutkan. Baru minggu lepas
dia bersembang panjang dengan datuknya di telefon.
Dia
akui dirinya dah lama tak pulang jumpa datuk sebelah babanya itu. Kali terakhir
adalah semasa dia ketemu kedua orang tuanya di China.
Sebelum
ke negara tembok besar tersebut, dia pulang ke Jakarta lebih dulu ziarah kakek
serta neneknya di sana. Dan semenjak itu, mereka lansung tak berjumpa. Hanya
telefon sebagai perantara.
“Aryan mau ikutan pulang.”
Serentak Pak Aryan dan Ibu Dian
pandang anaknya.
“Apa? Kamu mau ikut?” tanya Ibu
Dian.
“Iya.”
“Terus, Armaya gimana?”
“Ngapain sama Armaya?”
“Siapa yang mau urusin?”
“Karyawan kita kan lagi ada. Mereka
bisa urusin, kok.”
“Iya. Tapi nggak sama.”
“Nggak sama gimana?”
“Aduh! Ini anak.”
Ibu Dian lansung tepuk kepala.
Suaminya dipandang. Dengan harapan dapat jelaskan keadaan sebenar.
“Aryan… gini. Sebaiknya kamu itu
tinggal di sini aja, ya. Urusin Armaya. Biar baba sama mama pulang dulu ke
Jakarta lihat kakek gimana. Jika kondisinya nggak serius, ya nggak
kenapa-kenapa kok. Nah jika sebaliknya, baru nanti kamu nyusul pulang ya.”
“Tapi Aryan juga udah lama nggak
pulang ke kampung. Ketemu sama kakek dan nenek. Jadi nggak salah kan kalau
Aryan turut sekali?”
“Ya…
salah emang nggak salah. Cumannya, Armaya lebih membutuhkan kamu. Jikalau
terjadi hal-hal yang tidak diingini, yang lebih penting, terus emergency, sekurang-kurangnya kamu ada di sini buat menyelesaikannya. Iya
karyawan kita emang lagi ada. Tapi tetap mereka nggak bisa memutuskan apa-apa
tanpa kamu. Kamu harus ingat itu.”
Aryan
hela nafas. Nampaknya tak ada ruang lagi untuk dia balas. Kalau masih dibetah,
alamat sampai ke esok pagi mereka akan terus berbahas.
Lelaki
itu tersandar.
Nak
buat macam mana. Bila diri dah terjebak dalam dunia korporat, inilah risiko
yang harus diterima. Suka atau tak, terpaksalah dia telan juga.
LANGKAHNYA diatur susuri
kolam renang. Habis saja makan, dia terus menghala ke sini. Sengaja nak ambil
angin malam. Moga-moga dapat lenyapkan rasa kecewa dek perbualan terakhir di
meja makan sebentar tadi.
Duduk saja di kerusi rehat, Aryan
lansung rebahkan tubuh. Menghadap air kolam yang terbias dek sinar rembulan.
Menikmati langit malam yang diliputi taburan bintang berkelipan.
“Sungguh indah ciptahan Tuhan. Pasti
nyaman andai aku bisa menyertai bintang-bintang di atas sana. Nggak perlu
mikiran segala hal yang terjadi.”
Sejenak, lelaki itu
layan perasaan sendiri. Cari ruang untuk tenangkan diri. Lebih tepat, ingin
hilangkan resah yang bemukim di jiwa ketika ini.
Jauh di sudut hati, dia yakin resah
itu bukan sebab tak dapat ikut orang tuanya pulang ke Jakarta. Tapi ada sesuatu
lain yang membelenggu sejak akhir-akhir ini.
Sosok itu.
Ya!
Sosok itu yang mengganggu ketenteraman jiwa dia sebenarnya. Sosok yang ditemui
di pasaraya kira-kira sebulan lalu. Sosok yang dikejar sampai satu pasaraya
terkejut dengan pekikan alarm gara-gara dirinya. Entah kenapa, dia nak
sangat lihat wajah yang terlindung di sebalik hood jaket si empunnya.
“Mungkinkah itu kamu?” Aryan duga
sendiri.
Barangkali dia silap. Tapi otaknya
masih kuat untuk ingat di mana dia pernah lihat jaket tersebut. Dan siapa yang
memakainya. Only ‘Miss of Crazier’.
“Apa benar itu kamu?” ucap Aryan
lagi.
Kali
ini bayangan gadis bermata biru itu kembali menerpa. Sejak insiden di pasaraya
tersebut, wajah itu saja yang selalu hadir menyapa hari-harinya. Seakan
beritahu gadis itulah yang dikejar oleh dia.
“Ah! Kenapa kamu sering
menghantuiku!” tingkah lelaki itu.
Pantas Aryan raup wajah. Tubuhnya
dibangkitkan. Rambutnya dielus ke belakang. Habis itu, tengkuknya ditekap
dengan tangan. Merenung lantai di bawah bersama rasa yang sukar diungkapkan.
Kalau tadi babanya tanya dia punya
masalah, nah… inilah masalah yang tengah sarat dibenak. Puas dia mengelak.
Penat dia menolak. Tapi wajah gadis itu makin datang mengasak.
Adakah pintu hatinya
sedang diketuk? Oleh itu gadis bermata biru itu?
“No! No, no, no. Nggak mungkin! Masakan sama gadis yang telah menculikku? Nonsense!”
Aryan geleng-geleng perlahan. Matanya dipejam. Kepalanya
didongak ke atas. Cuba usir andaian yang bertandang. Saat mata tercelik semula,
pandangannya terus dilempar jauh ke dasar kolam.
‘Apa kau yakin dengan kata-kata kau, Aryan?’ bisik hati
kecilnya.
Entahlah.
Akal warasnya berkeras tidakkan. Tapi nalurinya?
Jujur…
sejak kes culik tempoh hari, jiwanya seringkali resah dan tertekan. Trauma? Ya.
Memang trauma. Tapi penangan gadis yang satu itu melebihi rasa trauma yang
ditinggalkan.
‘Kenapa
tak kau lupakan dia aje?’ bisik hatinya lagi.
Dia sendiri sedang tercari-cari
jawapan. Walaupun dah maklum gadis itu datang dari latar belakang penuh
kepalsuan. Apatah lagi kesalahan jenayah yang dilakukan memang sukar untuk
dimaafkan. Tetap, wajah itu yang sering melintas di fikiran.
‘Jadi
untuk apa sebenarnya kau cari dia? Nak balas dendam? Sebab dia terlepas dari
hukuman?’ suara hatinya terus berbisik.
Aryan
mengeluh.
Balas
dendam? Tak pernah terjangkau dek akal. Tapi mana tahu kut-kut boleh
dipertimbangkan.
Namun
ada satu hal yang lebih dia kisahkan. Matanya nampak sesuatu yang terlindung di
sebalik diri gadis berkenaan. Sesuatu yang disorokkan. Dan dia nak tahu tentang
‘sesuatu’ itu dengan sebuah penjelasan.
“Di
mana kamu sekarang? Apa benar sosok yang aku lihat tempoh hari sememangnya
adalah kamu?”
Hati
kecil Aryan semakin meronta-ronta ingin cari gadis penculik itu.
No comments:
Post a Comment