Saturday, November 18, 2017

CHAPTER 5 : RELAKU PUJUK



Niat semalam nak up sekali Chapter 05...
Tapi tak sempat edit... 
#TonightHereWeGo
Dulu orang bertanya bila Tengku Harrys nak muncul... 
Sekarang orang mencari di mana keberadaan Sefhia... 
#LetsFindHer
On next, we make a date with Harrys & Irish... 
#InshaaALLAH 😉







“BANGUN!”

            Satu suara mengganggu Aryan dari lenanya.

            “Hei! Bangun, bangun!”

          Kali ini Aryan buka mata bila terasa pipinya ditampar-tampar pula. Sebaik celik, seorang lelaki sedang melutut di depan. Lelaki sama yang dia belasah semalam.

        Melihat wajah lelaki itu, Aryan rasa nak ketawa. Penuh lebam dan luka. Bengkak sini sana. Macam baru lepas digigit tebuan.

Itu baru sikit kena penangan. Kalau tak, memang dah masuk hospital dia kerjakan.

          Mata Aryan kemudian beralih pada seseorang di belakang. Pandang saja raut itu, spontan darah menyerbu naik ke muka. Moodnya berubah serta-merta. Cepat-cepat anak mata lari ke tempat lain.

            “Mau apa?” soal Aryan acuh tak acuh.

            “Makan ni!”

            Bungkusan plastik berisi makanan dan minuman disua depan Aryan.

“Aku nggak mau.”

            “Aku kata makan!”

            “Aku bilang aku nggak mau.”

            “Eh! Kau jangan nak buat hal lagi. Pasal kaulah semalam, aku kena warning dengan boss aku! Ni… muka aku bertampal-tampal ni. Pun sebab kau!”

            “Lo pikir aku peduli sama semua itu? Rasain!”

            “Kau ni memang sengaja nak naikkan darah aku, kan! Aku kata makan, makan! Sebelum aku sumbat nasi ni kat mulut kau!”

      “Aku nggak mau!” bentak Aryan lebih keras. Bungkusan yang dah berada di ribanya, dilemparkan.

            “Eh! Kau ni memang dah melampau!”

            Serentak, lelaki itu rentap kolar baju Aryan. Buku limanya digenggam erat minta dilepaskan. Namun gadis di belakang lebih dulu tahan.

Enough.”

“Tapi miss, dia ni dah melampau! Bagi saya ajar dia sikit!”

I said enough.”         

Sekali lagi gadis itu tegah. Melalui isyarat, disuruh lelaki tadi beredar keluar. Dengan mudah arahannya diturut, walau telinga menangkap dengusan marah.

Tinggal gadis itu bersama Aryan dalam bilik kini. Seorang lempar renungan tajam, seorang lagi buang pandang ke sudut dinding. Masing-masing kaku beberapa saat sebelum gadis itu ambil semula bungkusan dilempar Aryan tadi. Bungkusan diserah kembali.

Aryan enggan layan. Huluran gadis itu hanya dibiarkan.

            “Ambil.”

            Aryan terus membatu.

            “Makan.”

            “Nggak mau.”

            “Nanti kau sakit.”

            “Mendingan aku mati terus. Itu lebih bagus!” selar Aryan geram. Itu belum lagi pasal insiden semalam. Ikut hati, nak saja gadis di depan ditendang. Baru puas dia rasakan.

Gadis itu ketap rahang. Bungkusan di tangan turut digenggam.

Ada baiknya dia beredar sekarang. Sebelum keadaan lebih berantakan. Bungkusan yang masih dipegang diletak sebelah Aryan.

Aryan perhati gadis itu mula melangkah. Biarkannya pergi bermakna sekali lagi dia terpaksa berlapar. Dahlah sejak semalam dia tak jamah apa-apa.

“Gimana aku bisa makan? Kalau udah kamu ikat aku begini.”

            Langkah gadis itu terhenti.

“Kalau mau aku makan, dibukain ini sama ikatannya.”

Gadis itu hadap Aryan semula. Renungan tajamnya dan Aryan berlaga.

“Kenapa? Kamu takut aku kabur lagi?”

Tak ada jawapan. Hanya renungan terus-terusan diberikan.

“Ya kalau gitu, ayuh… suapin aku. Itupun kalau kamu nggak mau akau mati kelaparan di sini.”


********** 

BIBIR merahnya senyum sendiri. Entah kenapa malam ini dia rasa puas. Puas dapat tundukkan gadis bermata biru itu. Buat pertama kali.

            “Aku nggak butuh berlawan untuk menundukkanmu. Cukup hanya dengan kata-kataku.”

            Aryan tersenyum lagi. Insiden siang tadi kembali gamit memori.

           “Kamu pasti nggak mau aku mati, kan? Kalau aku mati, boss kamu pasti marah. Rencananya lagi berantakan. Dan kalian juga pasti nggak akan terima uang dari orang tuaku,” ujarnya beri ugutan. Buat wajah di depan turut berubah.

           “Kira-kira apa ya boss kamu bakal lakuin kalau aku mati kebuluran di sini? Ya pasti kamu lagi dimarahin, lansung dipukul, atau… dihabisin terus. Dibunuh. Lalu mayat kamu dicampak ke dalam sungai. Biar dimakan sama buaya. Ah, ngeri banget!”

         Aryan makin galak bersuara. Lagi-lagi lihat riak si gadis makin tak tenang. Ingin saja bibirnya hamburkan tawa. Tapi seboleh-bolehnya ditahan.

           “Jadi, gimana? Mau suapin aku apa nggak?”

           Akhirnya, gadis itu berpatah semula. Sebuah bangku dicapai lalu dia duduk menghadap Aryan. Bungkusan tadi turut diambil dan dibuka.

            “Bentar. Aku bacain dulu doa makannya.”

Aryan menahan kala suapan pertama hampir masuk ke mulut. Selesai doanya, baru dia ambil suapan tersebut.

        Seperti biasa gadis itu hanya membisu. Cuma tangan saja yang bergerak suap nasi ke mulut Aryan. Sesudu demi sesudu. Sesekali dia berhenti beri Aryan minum.

Aryan terus leka tatap gadis di depan. Dan sepanjang disuap, matanya tak henti-henti merenung gadis itu. Macam tak percaya. Semalam mereka bertumbuk. Hari ini bersuap-suapan. Yang peliknya, tak pula gadis itu tolak. Takut dengan ugutannya?

Tapi dia pun tak punya pilihan. Kalau tak dipaksa, alamat mati kelaparan kat sini. Dah suruh dibuka ikatan, tapi nampaknya gadis itu lebih rela suap dari dia melarikan diri. 
  
         Senyuman Aryan terukir lagi. Entah kenapa kejadian siang tadi benar-benar mengganggunya. Malah sepanjang hari ini, kepala asyik teringat-ingat tentangnya.

Penculik menyuap makan tebusan? Ah! Mesti viral kalau tersebar kat media sosial.

Spontan Aryan ketap bibir. Seakan-akan terasa lagi suapan gadis itu di mulutnya. Sopan. Lembut. Sangat berbeza dari yang semalam dan hari-hari sebelumnya. Hingga tanggapan terhadap gadis itu turut berubah serta-merta. 

Mungkinkah itu dirinya yang sebenar?

            ‘Penculik tetap penculik, Aryan. Sebaik manapun dia layan kau, tetap tak mengubah fakta dan kesalahan yang dah dia lakukan.’

Satu suara berbisik padanya.


 **********

PAK ARYAWAN melangkah turun dari anak tangga. Kelihatan beberapa orang lelaki dah tunggu di tingkat bawah siap sedia.

“Udah siap semuanya?” soal Pak Aryawan pada salah seorang pegawainya.

“Sudah, tuan.”

“Bagus. Kamu semua tunggu di luar bentar. Nanti saya bakalin nyusul.  Pak Majid juga tunggu saya di mobil, ya.”

 Arahan dipatuh. Masing-masing menapak keluar dari banglo. Beri ruang Pak Aryawan bertemu isteri sebelum beransur.

“Mas berangkat dulu ya, ma.”

“Mas… mama mau ikutan bareng.”

“Nggak usah, ma. Mendingan mama nungguin aja di rumah. Lagian mas juga nggak tau kapan pulangnya. Tempatnya lagi jauh.”

Ibu Dian tunduk pandang lantai. Ikut hati, memang nak saja dia ikut suaminya. Tak betah tunggu di rumah dalam terpinga-pinga.

“Mama usah begini, dong. Mas pergi demi menyelamatkan anak kita.”

“Mama juga mau ikut bantuin, mas.”

“Iya. Mas tau. Tapi di sana lagi bahaya buat mama. Makanya, mama nungguin di rumah aja ya sama Mak Minah. Solat. Berdoa. Moga ALLAH permudahin urusan kita. Mama jangan lupa dong, doa seorang ibu itu sangat mujarab. Waktu-waktu sulit seperti inilah mas sama Aryan sangat-sangat membutuhkannya. Itu juga dikira bantuin mas, bukan?”

“Iya, mas. Mama ngerti.”

“Nah. Gitulah isteri cantikku!” Pak Aryawan cuit hidung Ibu Dian. “Nggak usah sedih-sedih terus, dong. Kita ini hidup harusnya positif selalu. Percaya ALLAH itu sering ada sama kita. Justeru hati kita pasti tenang. Ya, udah. Mas pamitan dulu. Semua udah menunggu. Mama jaga diri baik-baik, ya.”

Salam dihulur. Ibu Dian sambut lantas mencium. Saat Pak Aryawan mahu melangkah, tak semena-mena ditarik kembali tangan lelaki itu. 

“Kenapa?” tanya Pak Aryawan hairan.

“Makasih, mas.”

“Untuk apa?”

“Untuk semua yang mas lakuin buat anak kita. Dulu mama pikir mas nggak peduli sama sekali tentang Aryan. Tapi ternyata mama salah.”

Pak Aryawan ukir senyum. Setitis airmata Ibu Dian yang gugur pantas diseka. Kepala wanita itu disentuh lembut.

“Nggak ada orang tua yang tidak sayang sama anaknya, ma. Kerna mereka kurniaan tak ternilai dari Maha Esa buat kita. Nggak peduli bukan bermakna nggak sayang. Cukup ALLAH tau dalam hati mas ini punya tempat teristimewa buat anak-anak kita.” Begitu dalam kata-kata Pak Aryawan buat isterinya. “Mas pergi duluan ya, sayang. Assalamualaikum.”

Pak Aryawan teruskan langkah. Tinggal Ibu Dian terkaku sepi tanpa bicara.

‘Waalaikumussalam. Lindungi suami sama anakku, Ya ALLAH!’ rintihnya.




* WORDS TRANSLATION :-

mas – abang
mau – mahu
nggak – tak / tidak
bilang – kata (katakan, mengatakan) / cakap 
lo – kau / kamu
peduli – kisah
rasain – rasakan / padam muka
mendingan – lebih baik
gimana –bagaimana / macam mana
bisa – boleh
udah – sudah
dibukain – dibuka
kabur – lari
suapin – suap
butuh – perlu
menundukkan – mengalahkan / menewaskan
rencananya – rancangannya
berantakan – bermasalah / kacau / terganggu
uang – wang / duit
lakuin – lakukan
dimarahin – dimarah
banget – sangat
bentar / sebentar – kejap (sekejap)
kasi – bagi / beri
bacain – baca
berangkat – bertolak pergi
ikutan – ikut / mengikut
bareng – bersama-sama
nungguin – tunggu / menunggu
lagian – lagipun
bantuin – bantu / tolong
 ngerti – faham / mengerti
bercanda – bergurau
kritis / sulit – genting
pamit duluan – minta diri dulu
makasih – terima kasih



Friday, November 17, 2017

CHAPTER 4 : RELAKU PUJUK






“MAS.”

            Panggilan itu kejutkan Pak Aryawan. Dadanya dipegang. Segera dia paling ke belakang.


            “Aduh, ma! Kaget, tau nggak? Mujur tidak jatuh ke kolam!”

            Ibu Dian senyum hambar. “Maaf, mas. Mama nggak sengaja.”

            “Ya nggak apa-apalah.”

Pak Aryawan beredar dari tepi kolam renang. Duduknya lansung dilabuh atas kerusi rehat panjang.

Ibu Dian turuti sama sang suami. Ruang kosong sebelah Pak Aryawan, diambil.

“Mas kenapa?”

“Nggak apa-apa, sih.”

“Terus, mukanya kok lagi muram? Nelefon sama siapa tadi?”

“Teman.”

“Ada apa?”

Pak Aryan tak jawab. Hanya wajah isterinya dikerling sekilas.

“Loh! Mas kok malah diam? Mama lagi nanya ini, kan?”

“Teman mas itu bilang, berita Aryan diculik udah viral.”

“Viral? Yang benaran, mas? Gimana bisa terjadi?”

“Nggak tau, sih. Katanya mungkin lagi kerja wartawan. Sekarang aja udah tersebar di media, di internet, malah di mana-mana juga orang sibuk memperkatakan tentang hal penculikan anak kita.”

“Waduh! Gawat ini! Kalau sampei penculiknya Aryan ketahuan, habis kita mas!” tingkah Ibu Dian cemas.

“Mama ngapain ya udah kayak cacing kepanasan? Usah ribut-ribut, dong. Tenang!”

“Gimana mama bisa tenang? Nyawa Aryan pasti lagi dalam bahaya sekarang, mas!”

“Iya. Mas tau.”

“Lalu? Mas mau duduk diam dan nungguin aja? Udah tiga minggu mas Aryan itu diculik. Tapi khabar beritanya masih nggak ada. Sampei sekarang juga kita nggak tau keadaan dia gimana. Entah masih hidup atau nggak lagi anak itu!”

“Isk, mama ini! Mulut itu ngomongnya usah yang macem-macem, tau!”

            “Ya mau mama ngomong apa lagi, sih!”

Pak Aryawan pandang Ibu Dian. Dia tahu isterinya tengah kerisauan.

“Mas juga lagi bingung, ma. Tapi apalagi yang bisa kita lakuin selain tunggu dan tunggu.”

“Sampei kapan? Sebulan? Setahun? Atau sepuluh tahun?”

Pak Aryawan lepas keluhan. Cermin mata yang melurut turut ditanggalkan.

Dirinya juga dah buntu memikirkan. Sejak penculik Aryan telefon minta wang tebusan, dia tak henti-henti ikhtiar mencari jalan. Rakan-rakan di Malaysia semua habis dihubungi untuk minta bantuan. Duit tebusan juga awal-awal dah disediakan. Namun sampai ketika ini, penculik Aryan masih belum beri sebarang jawapan.

            “Mas… usah duduk diam terus, ah. Lakuin sesuatu, dong. Mama udah kangen banget mau ketemu sama Aryan!” bicara Ibu Dian lagi. Suaranya mula bergetar. Tangan si suami turut digenggam erat.

Untuk kesekian kali, Pak Aryawan pandang isterinya.

Luluh hati mendengar rayuan wanita itu. Lebih luluh bila melihat airmata Ibu Dian sudah mula bertakung. Spontan kepala yang bertudung itu dielus lalu diraih ke bahu.

“Mama usah menangis, dong. Asal mama tau, mas nggak akan pernah berhenti ikhtiar buat menyelamatkan anak kita. Mama terus doain aja, ya. Insya-ALLAH… Aryan pasti akan selamat. Lagian anak kita itu juga kuat, berani, penuh semangat! Kayak Ibnu Batutah, kan!”

Serentak, tawa Ibu Dian berderai. Terbantut air mata yang ingin keluar dek jenaka Pak Aryawan.

“Nah... gitulah. Ketawa. Kita ini emang udah sedih. Jangan ditambah lagi sedihnya.”

Suasana kembali tenang. Baik Pak Aryawan mahupun Ibu Dian, masing-masing cuba lupa masalah yang sedang menyerang. Sehinggalah telefon bimbit Pak Aryawan berdering tiba-tiba.

“Siapa, mas?”

“Nggak tau. Private number.”

Telefon segera diangkat. Pak Aryawan lansung tak bercakap. Sekadar dengar suara di hujung talian berbicara. Beberapa minit berlalu, telefon diletak semula.

“Siapa yang nelefon, mas?” Ibu Dian kembali bertanya.

“Penculik Aryan.”

“Benaran? Apa katanya?”

“Mereka mau kita hantarin uang tebusan itu lusa.”

“Di mana?”

“Akan dikasitahu kemudian.”

“Aryan gimana, mas? Apa dia baik-baik aja?”

Pak Aryawan angguk.

“Syukur alhamdulillah, Ya ALLAH…!” Ibu Dian tadah tangan lalu diamin ke muka. “Uang tebusannya mas udah siapin, kan?”

“Udah. Cuman…,”

“Cuman apa?”

“Nggak cukup.”

“Nggak cukup? Bukan kita udah keluarin sepuluh juta dari bank minggu lalu? Apa lagi yang nggak cukup?”

“Mereka minta nilai yang baru.”

“Astagha. Ini kali berapa?”

“Lima kali ganda.”

Membulat mata Ibu Dian dengar jawapan tersebut.

`        “Dan kita nggak bisa lapor ke polisi, ma. Kalau tidak, mayat Aryan aja yang bakalan kita terima depan pintu.”

            Ibu Dian terus tekup mulut.


 **********

MATA Aryan melilau pandang sekeliling. Cari kelibat orang yang mengawalnya. Biasa lelaki itu duduk tepi pintu. Tetapi malam ini, tak nampak pula.

            “Ke mana dia?”

            Satu jam berlalu, kelibat lelaki itu masih tak muncul.

Aryan mula bosan. Tak tahu apa nak dilakukan. Dengan tangan terikat. Makan malamnya pun seakan tak nampak bayang.

‘Apa ini peluang buat aku meloloskan diri? Kalau nggak sekarang, kapan lagi?’ desisnya.

       Aryan mula cari akal. Segenap penjuru bilik dipandang. Setiap inci sudut diperhatikan. Mengintai jalan keluar dari tempat tersebut.

            “Gimana aku bisa kabur dari sini, ya? Satu jalan apapun aku nggak lihat.”

            Dalam lelaki itu mula berputus harap, matanya tiba-tiba terpandang sesuatu.

            “Itu…,”

         Mata Aryan mencerun, mengamati objek tersebut. Objek berupa pisau lipat yang berjarak sedepa darinya. Mungkin kepunyaan penculik. Terjatuh. Atau tercicir.

Dengan seluruh kudrat yang ada, Aryan cuba capai pisau lipat itu dengan kakinya. Sedikit demi sedikit. Percubaan pertama, gagal. Kali kedua, kakinya masih tak dapat gapai. Kali ketiga, dia kecundang lagi.

            ‘Ya ALLAH… bantuin aku!’

            Aryan cuba sekali lagi. Kali ini, berjaya.

Pantas dia sepak pisau lipat itu dekat ke tangannya. Ikatan tangan di belakang mula diputuskan. Satu-persatu. Cukup sepuluh minit, usahannya kian berhasil.

            Krekkk!

            Aryan mendongak. Pintu bilik tiba-tiba terkuak. Sejurus itu seorang lelaki melangkah masuk bersama bungkusan di tangan.

            “Makan!” arah lelaki tersebut.

            “Nggak mau.”

            “Aku kata makan, makanlah!”

            “Aku bilang nggak mau!”

            “Eh, kau ni! Sekali aku bagi, kang!”

            “Hei! Lo bego atau apa? Gimana aku bisa makan sama tangan terikat begini?!”

            Lelaki itu diam. Sedar akan kesilapan. Sudahnya dia berjalan ke arah Aryan. Nak buka ikatanaan. Tinggal beberapa inci saja jarak mereka, perutnya tiba-tiba ditendang. Terpelanting lelaki itu ke belakang.

Aryan bingkas bangun. Ikatan tali cepat-cepat dilerai. Dengan pantas dia terpa ke arah lelaki itu. Ditumbuk mukanya bertalu-talu. Sikit ruang pun dia tak bagi tumbukannya dibalas. Lelaki itu terus dipukul hingga terkulai pengsan.

            “Rasain lo!” tingkahnya puas.

            Segera Aryan bangkit. Kalau dia berlengah, pasti ramai lagi yang akan muncul ke dalam bilik.

Jaketnya yang tersidai di katil terus dicapai. Baru dia ingin berpaling, satu tumbukan berdesup dilayangkan tepat ke wajahnya.

Zap!

Lelaki itu rebah. Matanya berpinar. Kepalanya pusing. Hujung hidungnya yang terasa perit, disentuh. Cecair merah sudah mengalir turun. Dalam kesakitan yang mengigit-gigit, dipandang empunya badan di depan yang dah tegak berdiri.

“Kamu…”

Aryan berusaha bangun semula. Cuba untuk lawan dengan saki-baki tenaga yang masih ada. Tumbukan gadis itu dibalas kembali. Tumbukan bersambut tumbukan. Tendangan berbalas tendangan. Setiap serangan ke atasnya sedaya upaya dipatahkan.

Namun ternyata gadis di depan bukan calang-calang. Gerakan tangkasnya sukar dimatikan. Seni pertahanannya sungguh di luar jangkaan. Dan akhirnya, Aryan tewas juga kala tendangan padu gadis itu tak sempat dielak. Tepat mengenai rusuk kiri.

Sekali lagi Aryan rebah. Tubuhnya terus ditarik kembali ke tiang.

            “Lepasin aku!”

            Gadis itu tak endahkan. Tubuh Aryan terus diikat.

            “Aku bilang, lepasin!”

            Gadis itu tetap membisu. Hanya tangannya bergerak pantas mengikat semula tubuh Aryan di tiang.

          “Hei! Kamu apa nggak tau malu? Kamu itu seorang gadis, tapi lagi bercampur dengan preman-preman liar seperti itu. Harga diri kamu dicampak ke mana, sih?”

            Gadis itu masih enggan berinteraksi.

            “Hei! Aku lagi bicara sama kamu. Kamu dengar nggak?”

         “Jangan lari. Kalau nak selamat,” ucap gadis itu akhirnya. Sosoknya kembali berdiri. Kaki mula menapak untuk beredar.

            “Hei! Kamu mau ke mana?! Aku belum selesai sama kamu!”

            Namun gadis itu tegar melangkah. Sampai di muka pintu, dia berpaling. Wajah Aryan sempat direnung sebelum dia terus keluar menghilang diri.

            “Arrgghhh!!!”

           Satu keluhan marah dilepas Aryan. Hampir saja dia dapat lolos tadi. Tapi kerana kesilapan, dia kembali terikat di tiang ini. Dan lebih menyebalkan, dirinya tewas di tangan gadis bermata biru itu sekali lagi!





* WORDS TRANSLATION :-

kaget – terkejut
nggak – tak / tidak
nelefon – telefon
sama – dengan
nanya – tanya  
benaran – benar-benar / biar betul
gimana – bagaimana / macam mana
bisa – boleh  
udah – sudah  
gawat – genting / berbahaya
ketahuan – diketahui
ngapain – kenapa
ribut-ribut – huru-hara
tau – tahu
mau – mahu / nak  
nungguin – tunggu / menunggu
aja – saja / sahaja
ngomong – cakap
usah – jangan
lakuin – lakukan
kapan – kapan
kangen – rindu  
banget – sangat  
ketemu – jumpa / berjumpa
doain – doakan
kayak – seperti / macam
emang – memang
hantarin – hantar / hantarkan
uang – wang / duit  
siapin – siapkan / sediakan
keluarin – keluarkan
polisi – polis
meloloskan – melepaskan
kabur – lari
bantuin – bantu / tolong
bilang – kata (katakan, mengatakan) / cakap
lo – kau / kamu
bego – bodoh / dungu / sempit akal  
rasain – rasakan / padan muka
lepasin – lepaskan
bercampur – berkawan / bergaul / bersekutu
preman – mempunyai banyak maksud. Salah satunya, sebutan kepada ‘orang jahat’.